Nasionalisme Progresif
Sejarah perjalanan bangsa ini sudah membuktikan bahwa nasionalisme merupakan alat perjuangan paling efektif dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Bukti dan faktanya adalah keberagaman yang hadir di bumi Indonesia ini dapat diikat oleh sebuah rasa solidaritas untuk menjadi satu kesatuan dalam sebuah wadah yang di imajinasikan sebagai bangsa Indonesia. Namun, nasionalisme di Indonesia mengalami involusi perannya dalam pembangunan peradaban Indonesia.
Bila diawal pembentukan nation state, nasionalisme merupakan pondasi bagi seluruh daya usaha membangun kerangka berbangsa dan bernegara. Dalam perjalanan selanjutnya, peran nasionalisme hanya sebatas slogan dan telah terkikis dari mental pejabat negara. Dampaknya adalah Tujuan nasional Indonesia merdeka tidak lagi menjadikan acuan arah pembangunan, melainkan kepentingan-kepentingan kelompok oligarki yang menghegemoni kekuasaan untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya. Sebagai contoh timbulnya perselingkuhan antara aparatur pemerintah, pengusaha, dan modal asing, membentuk jejaring KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang menghisap keuntungan negara ini. Konsekuensinya bila dahulu kita berjuang melawan penjajahan asing, maka saat ini kita harus berjuang melawan pengkhianatan dari dalam, ketika secara tidak langsung ada sebagian kecil kelompok yang memiliki kelebihan sumber daya menjajah sesama saudara sebangsanya, baik itu melalui eksploitasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Praktek tersebut bertentangan dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Maka apapun daya dan usaha pengelolaan negara tidak boleh bertentangan apalagi mengkhianatinya.
Di sisi lain, Kecenderungan globalisasi untuk merongrong kedaulatan bangsa di bidang ekonomi, politik, budaya, pertahanan dan keamanan, semakin memperlemah kapasitas negara untuk melindungi rakyat dan kepentingan strategis nasional. Kecenderungan ini berakibat langsung pada ketidakmampuan negara untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Padahal kesejahteraan merupakan ujung tombak untuk merajut rasa nasionalisme. Karena semakin tidak sejahtera kehidupan rakyat maka tingkat nasionalismenya akan semakin rendah dan rentan untuk melakukan hal-hal yang merugikan kepentingan bangsa. Oleh karena itu, HMI harus mengusung nasionalisme progresif sebagai anti tesa dari nasionalisme sloganistik yang selama ini terjadi di Indonesia, dengan memperjuangkan kesejahteraan rakyat sebagai hasil akhir dari setiap usaha pengelolaan negara.
Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Dalam kehidupan kemanusiaan yang niscaya bermasyarakat, peran-peran individu tidak dapat dilepaskan dari individu yang lainnya. Dimensi material kemanusiaan yang memiliki keterbatasan, mewujud dalam bentuk kontaradiksi dalam sisi sosial dan ekonomi. Kontradiksi yang dimaksud secara filosofis bahwa eksistensi materi, meniscayakan untuk memiliki keterkaitan pertentangan dengan materi yang lain. Sebagai contoh manusia untuk eksis (hidup) dimensi materialnya, dia harus menghilangkan eksistensi materi yang lain, seperti dia harus membunuh hewan atau tumbuhan agar tetap hidup. Hal ini pun dapat dilihat dari hubungan secara sosial dan ekonomi antar manusia.
Kenyataan ini yang menjadikan harmonisasi kepentingan material manusia yang saling bertentangan hanya bisa dilakukan melalui kompromi dengan menegasikan eksistensi kelompok, etnis atas etnis lainnya sehingga pembauran akan menjadi karakter dasar kehidupan kita. Sehingga benturan antar individu dapat diminimalisir, bukan hanya sekedar dilihat sebagai pertentangan namun dijadikan sebagai kenyataan kemasyarakatan manusia. Harmonisasi dan kompromi inilah yang menjadi nilai dasar hubungan antar individu yang dijadikan sebagai dasar perwujudan keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Makna keadilan dalam ranah kemanusiaan dan sosial dapat diambil dengan menempatkan sesuatu hal secara proporsional.
Maksud dari keadilan secara proporsional ini, ketika dalam memberikan sebuah nilai keadilan sesuatu hal, disesuaikan dengan proporsi hak dan kedudukan yang dimiliki setiap individu. Menempatkan individu sesuai dengan hak dan keadaannya, merupakan penghantar dari menjaga nilai-nilai kemerdekaan hidup manusia. Individu akan mendapatkan apa yang menjadi haknya dan dia akan mendapatkan kemuliaannya sesuai dengan peran dan kedudukannya.
Karena kita yakin dan percaya bahwa keniscayaan setiap orang untuk tidak lepas dari fungsi organisnya sebagai masyarakat, maka tidak bisa dipisahkan perannya dengan individu yang lainnya. Peran-peran individu dalam masyarakat, adalah bagaimana memberikan harmonisasi pertentangan kebutuhan dari masing-masing individu. Tanpa adanya kesadaran akan adanya pertentangan, dan memberikan pertautan pada upaya untuk memberikan kemaslahatan antar individu, maka hubungan penindasan tak bisa dihindari. Adanya individu yang ditindas secara sosial oleh individu lain yang menindas, akan menjadikan disharmonisasi sosial dalam bentuk ketidakadilan dalam masyarakat.
Kenyataan dari sebuah ketidakadilan dalam hubungan sosial kemasyarakatan, adalah munculnya ketimpangan kelas dari masing-masing individu. Adanya kelas yang menjadi penindas dan adanya kelas yang ditindas, terjadi karena penyalahgunaan wewenang individu dalam proporsi kedudukannya. Biasanya kelas-kelas penindas adalah kelas yang memiliki kelebihan dan kekuatan secara ekonomi dan politik dalam masyarakat. Sedangkan kelas-kelas yang ditindas adalah kelas yang memiliki keterbatasan secara ekonomi dan politik.
Keadaan disharmonisasi sosial terjadi ketika penindas melakukan penghisapan secara ekonomi dan politik, dengan penyalahgunaan kedudukannya dalam masyarakat. Hubungan ketidakadilan dalam masyarakat, juga disebabkan oleh adanya ketimpangan secara ekonomi. Adanya distribusi kekayaan yang tidak merata, menyebabkan ketidakberdayaan dari individu terhadap individu yang lain dalam masyarakat. Hal ini yang menyebabkan penguasaan dan penghisapan dari individu terhadap individu yang lain dalam masyarakat. Kemampuan untuk memberikan distribusi pendapatan bagi setiap masyarakat, merupakan upaya untuk mewujudkan keadilan ekonomi.
Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain di satu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu di mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga tercipta kelas-kelas dalam masyarakat di mana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif dari kesadaran kepemilikan pribadi kepemilikan sosial (bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi mengatur atau merawat dalam hal menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama) yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara menasionalisasikan alat-alat produksi.
Adapun menurut Islam kepemilikan pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya kepemilikan pribadi yang semata-mata meterialistik justru penyebab proses kehancuran sistem kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang yang sering disebut ego.
Itulah sebabnya mengapa ketika seluruh alat-alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian diamanahkan kepada negara yang notabene adalah terdiri dari individu-individu sebagai pengelolaannya kemudian berubah menjadi kapitalisme atau borjuis-borjuis baru yang diktator dan menganggap diri mereka tuan (penguasa) bagi unit-unit yang mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya kecenderungan egoistik.
Bagi Islam satu-satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidakadilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik kesadaran teologis dan eskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan naluri alamiahnya.
Pengilmuan Islam (Sains Islam)
Pengetahuan merupakan supplement dari sebuah perubahan peradaban bangsa. Sebuah bangsa akan memiliki kekuatan nyatanya, apabila memiliki pengaruh dalam pengetahuan. Pengetahuan akan menjadi kekuatan yang menopang peradaban, itulah kenapa budaya dan sejarah peradaban dimulai oleh seberapa besar ilmu pengetahuan berkembang. Bangsa yang memiliki akar-akar budaya dan pengetahuan yang mapan, maka akan dipandang sebagai bangsa y rfrrrrrrrrang memiliki kedalaman tradisi yang kuat. Berdiri dan jatuhnya sebuah peradaban dapat dilihat dari seberapa besar ilmu pengetahuannya dapat berkembang.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah memberikan kedalaman penyempurnaan diri manusia di dunia. Dengan terbangunnya optimalisasi peran-peran rasio, telah menjadikan manusia sebagai mahkluk yang sempurna. Kedalaman dan pengagungan suatu bangsa terhadap ilmu pengetahuan mempermudah proses perubahan dalam masyarakat. Terbangunnya suatu pandangan akan pentingnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat, merupakan syarat memanusiakan manusia dan wujud perlawanan terhadap dehumanisasi peradaban.
Islam merupakan agama yang dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan. Pandangan tentang dimensi teologi dan keagamaan sebagai wujud penghambaan terhadap kuasa sang ilahi , berdasar pada kekuatan argumentasi pengetahuan yang kokoh. Sehingga alam pemikiran penganut agama Islam didorong untuk menyandarkan dirinya pada penggalian Ilmu pengetahuan. Makna-makna teks agama tidak sekedar dipandang secara dogmatis, namun dipahami secara konteks dengan kekuatan ilmu pengetahuan.
Adanya kesadaran ilahiah yang dilandasi ilmu pengetahuan akan mempermudah akselerasi antara keyakinan dengan pembangunan peradaban bangsa. Pengilmuan Islam yang dijadikan pijakan pembangunan dimensi pengetahuan, bukan sekadar diarahkan untuk menggali khasanah keberagamaan, namun lebih jauh diarahkan untuk membentuk pembangunan sebuah peradaban bangsa. Sehingga ada sinergisitas pandangan antara penghayatan nilai-nilai keberagamaan dengan penggalian pengetahuan yang mampu menopang peradaban kemanusiaan.
Pengilmuan Islam merupakan dimensi Ilahiah yang dihayati melalui kesadaran intelektualitas, yang dikaitkan dengan kesadaran membangun peradaban manusia. Hanya dengan adanya kekuatan Intelektualitas yang mapan maka penghayatan Ke-Islaman dan Kebangsaan akan mampu diwujudkan dalam pencapaian perubahan sosial. Sehingga berbagai dimensi ini membentuk fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi dengan mengandalkan akal dan memanfaatkan segala potensi manusia (dalam hal ini ilmu) untuk menjadikan kehidupan selalu mengabdi kepada Allah SWT dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Pada dasarnya pengilmuan Islam merupakan proses penjabaran konsep-konsep normatif-subjektif Islam menjadi formulasi-formulasi empiris-objektif yang terbuka dan inklusif (dari teks menuju konteks). Metodenya bisa dikerjakan melalui peminjaman dan akomodasi ataupun adaptasi dan sintesis dengah khazanah lain untuk memahami kandungan normatif Islam (metode integralisasi). Selain daripada itu, pengilmuan Islam tidak hanya persoalan keilmuan semata, karena salah satu tujuan utamanya adalah mengkontekskan teks-teks agama dengan keadaan sosial atau dengan kata lain, kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan (metode objektifikasi).
Salah satu metode menuju terwujudnya pengilmuan Islam diatas ialah melalui objektifikasi Islam yaitu ketika gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional. Nilai-nilai tersebut layak diterima bukan karena ia berasal dari Islam tetapi yang terpenting adalah bahwa nilai-nilai itu mengandung kebaikan pada dirinya sendiri, sehingga sumber nilai-nilai itu menjadi tak penting; yang penting adalah kemampuan menjustifikasinya secara rasional, demi mempersuasi sebanyak mungkin orang untuk menerimanya.
Ini menunjukan nilai-nilai Islam secara substansial bisa tampil secara universal dan karena nilai-nilai Islam berhasil ditransformasikan untuk menjadi sumber pencerahan bagi pemecahan masalah bersama secara objektif. Dengan demikian nilai-nilai Islam menjadi sesuatu yang bisa diterima orang, baik muslim ataupun non-Muslim, karena kebaikan nilai-nilai itu sendiri, bukan karena nilai-nilai itu berasal dari Islami. Maka dengan cara ini nilai-nilai Islam menjadi rahmat untuk alam semesta.
Pandangan dunia (welstanschaung) HMI yang merujuk pada Nilai Nilai Dasar Perjuangan (NDP), membuat corak ideologi gerakan HMI adalah lebih mementingkan substansi dari pada literalis dan NDP telah menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip kebenaran universal dijadikan sebagai poros sistem keyakinan diri kader. Kebenaran universal itu tak terbatas pada ruang dan waktu atau bisa juga disebut sebagai teoretical wisdom.
Dengan demikian, melalui pengilmuan Islam, maka gerakan HMI akan lebih mendekati konteks dari pada teks, dengan begitu Islam dan HMI akan relevan kembali untuk memecahkan kembali problem-problem kemanusiaan melalui bahasa dan metode yang objektif, yang bisa diterima dan menarik partisipasi dari semua orang. Dengan begitu Islam selalu bergulat dengan relevansi keadaan kotemporer umat di mana Islam tidak hanya berperan sebagai pemberi legitimasi terhadap sistem sosial, melainkan juga harus mengontrol perilaku sistem tersebut. Apabila pengilmuan Islam dapat menjadi metodologi HMI dalam mengimplementasikan misinya maka secara tidak langsung
http://www.nasirsiregar.com/blog/10/tahun/2010/bulan/04/tanggal/20/id/158/
HMI telah menjadi agen dari misi profetik Islam itu sendiri dengan melakukan transformasi sosial di level umat, melalui kerja-kerja intelektual. Yaitu mentransformasikan nilai-nilai Islam yang subjektif menjadi objektif untuk mencitrakan Islam kepada khalayak yang telah diaktualisasikan ke dalam bahasa ilmu
secara empiris.
Home »
» Manifesto Politik HMI Menata Masa Depan Indonesia (II)
Posting Komentar